KEMAHASISWAAN DAN ANTROPOLOGI KAMPUS
KEMAHASISWAAN DAN ANTROPOLOGI KAMPUS
A.
TIPOLOGI DAN BUDAYA MAHASISWA DI KAMPUS
Secara umum Tipologi adalah pengklasifikasian suatu objek
berdasarkan karakteristik tertentu yang terkait dengan objek.
Tipologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokan berdasarkan tipe atau jenis.
Tipologi
merupakan satu bidang studi yang mengelompokan objek dengan ciri khas struktur
formal yang sama dan kesamaan sifat dasar ke dalam jenis-jenis tertentu dengan
cara memilah elemen-elemen yang mempengaruhi jenis tersebut.
Menurut
KBBI, Tipologi adalah ilmu watak tentang bagian manusia dalam golongan-golongan
menurut corak watak masing-masing.
Secara
konsepsional mendefinisikan tipologi sebagai sebuah konsep yang mendeskripsikan
sebuah kelompok objek atas dasar kesamaan karakter bentuk-bentuk dasarnya.
Budaya adalah sesuatu yang
barangkali sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Sebab, Tanah Air ini dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan warisan budaya
yang melimpah. Tapia pa sebenarnya budaya itu?
Budaya
adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh seseorangatau sekelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Dari
segi Bahasa, budaya atau kebudayaan berasal dari Bahasa sansekerta, yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam
Bahasa inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin
colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Kata culture terkadang
diterjemahkan sebagai “kultur” dalam Bahasa Indonesia
Apa yang terbesit ketika pertama
kali disebutkan kata “mahasiswa”, mungkin ada yang mengartikan bahwa mahasiswa
adalah seseorang yang belajar di sebuah universitas atau perguruan tinggi.
Memang kesannya sebagai pelajar yang hanya menuntut ilmu dan belajar.
Pengertian
mahasiswa secara administratif dapat diartikan sebagai seseorang yang terdaftar
di perguruan tinggi, dimana seseorang diperguruan tinggi tersebut sudah
memenuhi syarat-syarat menjadi mahasiswa di perguruan tinggi tersebut.
Secara
administrasi, mahasiswa diambil dari dua kata, yaitu kata ‘maha’ dan ‘siswa’.
Maha memiliki makna ter yang bermakna lebih tinggi dari sekedar pelajar,
sedangkan siswa berarti pelajar. Dengan kata lain, mahasiswa diartikan sebagai
terpelajar. Sebagai siswa terpelajar diartikan sebagai seorang pelajar yang
tidak hanya belajar secara akademik, tetapi seorang siswa yang memiliki
inovasi, kreativitas tinggi dibidang tertentu. Dikatakan mahasiswa karena
seorang mahasiswa memiliki tanggung jawab menuntut ilmu lebih tinggi
dibandingkan seorang pelajar SMP maupun SMA. Dimana mahasiswa diharapkan mampu
melahirkan solusi atas permasalahan dan menjadi problem solving bagi
masyarakatnya.
Kampus, kalian pasti sudah sering
mendengar kata kampus, namun apa arti dari kampus?
Kampus
berasal dari kata latin campus yang berarti “lapangan luas”, “tegal”.
Sedangkan dalam pengertian modern, kampus adalah sebuah kompleks atau daerah
tertutup yang merupakan kumpulan gedung-gedung perguruan tinggi.
Sedangkan
menurut KBBI kampus adalah daerah lingkungan bangunan utama perguruan tinggi
tempat semua kegiatan belajar mengajar dan administrasi berlangsung.
Menjadi
seorang mahasiswa merupakan kebanggaan tersendiri bagi yang menyandangnya.Mahasiswa
selalu dipandang memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, dewasa, mandiri,
kritis dan bertanggung jawab. Sehingga sering kali dibedakan dengan Siswa atau
Pelajar Biasa. Perbedaan ini dikarenakan Mahasiswa sering diidentikkan dengan
sebutan agent of change (Agen Perubahan), Iron stock (Generasi Penerus Masa
Depan), Agent of Social Control (Agen Penyampai Kebenaran) dan lain sebainya.
Dengan kata lain, kata Maha yang terkandung dalam kata Mahasiswa membuat orang
yang menyandangnya selalu dianggap orang dapat menyelesaikan dan menghadapi
segala perkara dan tantangan.
Namun
tidak semua mahasiswa melakukan hal tersebut, Hal ini
disebkan karena dalam diri mahasiswa itu sendiri terdapat berbagai tipe. Ada
mahasiswa doyan kritis, ada mahasiswa yang suka terima jadi, ada mahasiswa copy
paste edit sedikit, ada mahasiswa asal bunyi dan lain sebagainya. Tipologi
mahasiswa dapat dikatakan sebagai penggolongan watak mahasiswa yang ada di
perguruan tinggi, misal berwatak idealis, hedonis, profesional, apatis,
pragmatis dan lain sebainya.
Kita
akan coba menjelaskan beberapa tipologi mahasiswa yang ada di kampus
diantaranya :
1.
Mahasiswa Idealis
Menurut kamus besar bahasa Indonesia,
kata ideal sangat sesuai dengan segala sesuatu yang dicita-citakan atau
diangan-angankan atau dikehendaki oleh seseorang. Mahasiswa ideal adalah
mahasiswa atau yang mempunyai kriteria yang cukup unik (unique) seperti,
berpenampilan rapi, sopan dalam bertutur kata, kritis dalam menanggapi situasi
baik di lingkungan kampus maupun di lingkungan masyarakat di tempat Ia berada,
mahasiswa yang membawa setiap aspirasi masyarakat/rakyat yang dianggap lebih
penting, mempunyai otak yang cerdas, bertanggung jawab, disiplin, rajin dan
terampil dalam menganalisa suatu masalah yang sedang terjadi maupun masalah
yang akan dihadapinya nanti
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa
mahasiswa idealis adalah mahasiswa yang mampu menyesuaikan kepentingannya di
internal kampus maupun eksternal kampus. Tipe mahasiswa ini sangat penting untuk
dimiliki oleh seorang mahasiswa khususnya mahasiswa baru. Guna memciptakan
pemikiran mahasiswa yang ideal atau menciptakan kesadaran bahwa mahasiswa
adalah arsitek dari pembangunan suatu bangsa dapat dilakukan sejak mahasiswa
memasuki gerbang kuliah. hal ini dikarenakan mahasiswa baru masih terlihat
polos dan belum mempunyai idealisme, sehingga masih bingung dalam mencari jalan
apa yang akan ditempuh ke depannya.
Ironisnisnya, jalan yang ditunjukkan oleh
para birokrat tentang mahasiswa ideal adalah tunduk pada kebijakan birokrasi,
lulus empat tahun, dan mempunyai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi.
Mindset atau pemikiran-pemikiran seperti inilah yang nantinya akan menggiring
mahasiswa baru untuk manut dan meninggalkan rasa kritisnya yang kemudian
mengakibatkan diskusi-diskusi di kampus akan semakin berkurang, organisasi
intra maupun extra kampus mulai sepi peminatnya, ironisnya lagi ketika kita
kritis malah dicap sebagai pembangkang. Dengan kondisi yang seperti itu maka
akan tercipta inlander-inlander baru yang tunduk terhadap penguasa kampus.
Mahasiswa, layaknya bebek yang mau di giring ke kanan, ke kiri oleh pemiliknya.
Dampak yang lebih luas lagi adalah lebih menganganya jurang antara mahasiswa
dengan rakyat.
2.
Mahasiswa Hedonis
Mahasiswa Hedonis sering juga disebut dengan
istilah Trend Setter. Mahasiswa tipe ini adalah orang-orang yang mengalami
disorientasi dalam proses belajar-mengajar dalam perkuliahan. Tipe mahasiswa
ini kerjaanya kebanyakan hanya diisi dengan kegiatan foya-foya, berdandan
habis-habisan, dan menghamburkan uang tanpa tujuan yang jelas. Tipe Mahasiswa
Hedonis adalah Tipe mahasiswa yang tidak mementingkan perkuliahan dan tidak
juga mementingkan organisasi, dia hanya memikirkan bagaimana dirinya senang
dengan dunianya. Biasanya mahasiswa yang seperti ini dikategorikan ke dalam
mahasiswa yang hedonis (hura-hura), apatis dan juga mahasiswa kupu-kupu alias
kuliah pulang kuliah pulang.
Maka tidak heran jika kita sering mendengar
istilah mahasiswa kuupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), mahasiswa
kunang-kunang (kuliah nagkring-kuliah nangkring), juga tak sedikit dari mereka
yang menjadi shopaholic, hampir setiap mall sudah di jambangi, beli ini, beli
itu. Jika dulu René Descartes menyatakan eksistensi manusia dengan jargon Cogito
Ergo Sum yang berarti “aku berpikir maka aku ada” maka mahasiswi sekarang akan
mengatakan Emo Ergo Sum, “aku belanja maka aku ada”. Belanja menjadi semacam
eksistensi mahasiswi untuk bisa diterima dikelompoknya.
3. Mahasiswa Profesional
Mahasiswa tipe ini adalah mahasiswa yang
aktifitasnya sebagian besar dipusatkan untuk dapat memperoleh nilai yang baik,
kerjanya belajar dan belajar, dan cenderung apatis terhadap masalah-masalah
disekelilngnya.
4. Mahasiswa Apatis
Tipe Mahasiswa ini adalah mahasiswa yang
tidak peduli dengan kehidupan di sekitarnya. Dapat juga dikatakan Mahasiswa
tipe ini adalah mahasiswa yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri.
Adagium mahasiswa apatis adalah Urusanmu adalah urusanmu, urusanku adalah
urusanku. Tipe ini dapat dikatakan tipe paling buruk dari tipologi mahasiswa
5.
Mahasiswa Pragmatis
Tipe mahasiswa ini adalah orang-orang yang
mengandalkan kecakapan mereka dalam berinteraksi untuk dapat menonjol diantara
kawan-kawannya, kecenderungan mereka adalah mencari muka didepan birokrat-birokrat
kampus
6. Mahasiswa kritis
Tipe mahasiswa ini sering kita jumpai dari
dulu hingga sekarang. Orang-orang yang termasuk dalam kategori ini biasanya
orang-orang yang aktif dalam dinamika organisasi. Sehingga Mahasiswa jenis ini
sering disebut sebagai mahasiswa yang mempunyai kecenderungan berfikir kritis,
ia menjadi seorang yang mau memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh
komunitasnya, mempunyai pandangan dan analisa yang mendalam persoalan-persoalan
yang dihadapi baik di dunia kampus maupun di luar kampusnya.
Dari berbagai
tipologi mahasiswa yang dijelaskan di atas, penting bagi seorang mahasiswa
untuk menilai dirinya termasuk dalam tipologi mana. Hal ini sangat penting
karena dengan cara ini kita dapat mengetahui posisi dan peran kita sebagai
mahasiswa, terutama mahasiswa yang hidup di bangsa yang penuh dengan
problematika.
Sebagai
mahasiswa kadang kita masih bingung tentang apa dan bagaimana budaya kita
sebagai mahasiswa, sebagai mahasiswa kita harus tau apa budaya kita dalam ruang
lingkup perguruan tinggi agar pada waktunya kita tidak tersesat pada jalan yang
salah yang akan membawa kita kepada jurang gelap dan suram.
Budaya
mahasiswa di kampus adalah sebagai berikut:
1. Membaca
Mengapa
harus membaca? Kita semua tahu apa itu membaca dan semua sahabat sudah bisa
membaca, tapi tahukah kalian dengan membaca kita dapat mengetahui apa yang
tidak ketahui. Dengan membaca kita dapat memotivasi diri kita sendiri untuk
menuju perubahan yang positif dan membaca bagi pikiran seperti olahraga bagi
tubuh. Jadikanlah membaca sebagai kebutuhan, karena dengan membaca kita akan
menyadari bahwa banyak orang-orang yang lebih mengalami kesulitan jika hanya
dibandingkan dengan kita dan karena dengan membaca kita dapat mengubah dunia
menjadi lebih indah
2. Mendengar
Kita
tentu sudah tidak asing dengan kata-kata “diam adalah emas” tapi bukan berarti
diam cuek, tetapi diam mendengarkan dengan seksama. Kita telah diberi dua
telinga dan satu mulut, tetapi pada kenyataannya saat ini banyak orang lebih
ingin di dengar daripada mendengarkan, merasa dirinya benar dan orang lain
salah. Dalam kehidupan dan perkuliahan pasti kita akan dihadapkan pada suatu
masalah dimana kita harus mendengarkan, jika tidak kita tidak akan mendapatkan
ilmu yang diberikan. Mendengar adalah suatu komitmen untuk memahami perasaan
dan pembicaraan lawan bicara kita, ini juga sebagai bentuk penghargaan bahwa
apa yang orang lain bicarakan adalah bermanfaat untuk kita.
3. Menulis
Menulis
dapat melatih otak kita untuk terus aktif dan itu sangat menyehatkan. Sebagai
mahasiswa kita pasti dituntut untuk mampu mengungkapkan ide, gagasan, pemikiran
lewat kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah tuliasan. Sangat rugi jika
seseorang yang memiliki banyak ilmu dan pengalaman hanya disimpan untuk diri sendiri.
Sangat baik jika kita dapat menuliskan hasil renungan dari apa yang telah kita
dapat dari membaca, mendengarkan dan memahami. Dengan menuliskan apa yang
dipikirkan akan membuat kita terbiasa berpikir tentang imajinasi yang mungkin
akan menjadi kenyataan
4. Berdiskusi
Setelah
kita membiasakan budaya membaca, mendengar dan menulis tentu kita bisa bertukar
informasi dengan apa yang kita dapat dengan mahasiswa yang lain melalui diskusi
karena dari diskusi kita dapat bertukar informasi tentang apapun, dan mengajari
kita arti sebuah penghargaan atas apa yang disampaikan orang lain tanpa harus
merasa egois
B. PERAN MAHASISWA SEBAGAI KELOMPOK
MASYARAKAT
Mahasiswa memiliki banyak
potensi dan kesempatan, hal ini menjadikan mahasiswa dapat dikatakan sebagai
komunitas yang unik yang mampu berada sedikit di atas masyarakat. Dengan
demikian, mahasiswa memiliki peran penting untuk memberikan kontribusi kepada
masyarakat demi menjadikan negara Indonesia yang lebih maju.
Berikut adalah peran mahasiswa yang wajib kita ketahui :
1. Mahasiswa sebagai Iron Stock
Mahasiswa sebagai iron stock
dituntut memiliki kepribadian yang baik dan akhlak yang terpuji sebagai
generasi muda bangsa yang akan melanjutkan kepemimpinan Indonesia di
tahun-tahun mendatang. Bagaimana mungkin mahasiswa bisa menjalankan peran yang
lainnya jika dari segi akhlak dan perilaku tidak mencerminkan nilai intelektualitas sebagai mahasiswa?
Kecerdasan intelektual semestinya diimbangi dengan kondisi akhlak yang baik
sehingga nantinya akan tumbuh generasi pemimpin Indonesia yang berkualitas Indonesia
bukan kekurangan kalangan intelektual tetapi kekurangan orang berakhlak
2. Mahasiswa sebagai Agent of Change
Peran
mahasiswa sebagai agent of change ini barangkali yang paling sering disuarakan
mahasiswa saat melakukan perubahan-perubahan terkait kebijakan pemerintah
melalui serangkaian aksi yang dilakukan. Mahasiswa adalah agen pengubah yang
harus berdiri dibarisan paling depan menyuarakan rakyat. Apabila ada yang salah dengan pengelola
negara ini, peran mahasiswa sebagai agen peubah harus muncul. Itulah sebabnya
mahasiswa kerap melakukan gerakan-gerakan mahasiswa melalui berbagai aksi di
lapangan. Gerakan mahasiswa ada yang bersifat intelektual dan ada yang sifatnya
aksi di lapangan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Keduanya dilakukan
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan.
3. Mahasiswa sebagai Guardian of Value
Peran mahasiswa sebagai guardian of value
adalah bagaimana mahasiswa bisa menjaga nilai-nilai kebaikan yang ada di
masyarakat. Nilai-nilai seperti kejujuran, gotong royong, empati, keadilan,
integritas dan sebagainya adalah hal yang harus dipertahankan keberadaannya di
masyarakat. Mahasiswa memiliki peran untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut
tumbuh dan terpelihara di masyarakat.
Guna mewujudkan peran tersebut maka harus mengawalinya dengan perbaikan diri
sendiri melalui peran iron stock yang sudah dijelaskan di atas.
4. Mahasiswa sebagai Moral Force
Mahasiswa sebagai kalangan intelektual harus
mencerminkan nilai karakter terbaik sesuai dengan tingkatan intelektualnya.
Pendidikan sebagai upaya pembentukan karakter idealnya muncul dengan perilaku
moral terbaik yang ditunjukkan oleh seorang mahasiswa. Hal ini adalah peran
idealnya dalam mewujudkan kehidupan bangsa yang beradab. Bisa dibayangkan jika
kalangan intelektualnya memiliki moral yang tak beradab, maka negara ini akan
salah urus. Para pejabat yang berakhlak didahului oleh sosok mahasiswa yang
mengerti dengan perannya sebagai moral force.
5. Mahasiswa sebagai Social Control
Peran mahasiswa sebagai social
control merupakan peran yang penting dan signifikan di masyarakat. Mengapa
mahasiswa selalu melakukan upaya kontrol terhadap kondisi pemerintah yang
dianggap tidak pro rakyat misalnya? Upaya kontrol yang dilakukan mahasiswa
tetap harus didasarkan pada nilai-nilai idealisme yang ada. Tidak tergadai
dengan iming-iming uang atau kepentingan politik yang mempengaruhinya. Faktanya
memang terkadang banyak mahasiswa yang melupakan peran ini. Suara kontrolnya
hilang karena idealismenya tergadai dengan materi.
C. KAMPUS
SEBAGAI MEDAN GERAK PMII
Pandangan konservatif tentang kampus selalu menempatkan
kampus sebagai "rumah kehidupan ilmiah" dengan karakteristik utama
liberasi pemikiran, bergagas, kreatifitas, argumentatif, dan melihat jauh ke
depan sembari mencari manfaat praktis dari suatu ide ataupun penemuan. Gambaran
klasik ini mewakili kehidupan kampus di negara berkembang khususnya di
Indonesia yang sangat bertumpu pada kehidupan akademik.
Sekalipun kehidupan kampus di Indonesia telah
berlangsung lebih dari 13 dekade, namun pandangan di atas telah menggiring
dialektika intelektual kampus dengan lingkungannya (masyarakat dan pihak-pihak
yang berkepentingan atasnya) pada dua kemungkinan pokok. Pertama, kampus
mengambil prakarsa lewat penawaran karya, gerakan reformasi dan restorasi
kondisi masyarakat hingga pada gerakan politik. Dan kedua, kampus bersikap
pasif, menunggu upgrade dari luar, tempat penampungan dan memberikan reaksi
atas inisiatif pihak luar dengan konsekuensi kampus dijadikan field pertarungan
kekuatan politik atau accomplice tak sederajat oleh birokrasi negara dalam
bingkai etatisme negara. Keduanya membawa implikasi dan konsekuensi tersendiri.
Kemungkinan pertama akan meletakkan kampus sebagai salah satu lokomotif perubahan,
penyedia assets bagi masyarakat dalam membangun bangsa. Gerak nafas kampus akan
selalu mewarnai laju perubahan yang diinginkan. Konsekuensinya, semua pihak
harus mengakui peran politik mahasiswa dan para akedemikus. Politik kampus
adalah politik moral yang sangat berbeda dengan kekuatan politik praktis
lainnya. Arief Budiman mempersonifikasikan peran itu dengan sosok
"resi", yakni sebagai pihak yang selalu mengabarkan kepada rakyat
banyak adanya ketidakadilan, kesewenang-wenangan serta meng-impact rakyat untuk
bergerak bersama melakukan pengatasan, dan ketika huru-hara tersebut
tertangani, maka segenap elemen kampus tersebut kembali lagi ke pertapaannya
(kampus) untuk melanjutkan tugas utamanya menuntut ilmu dan memperoduksi
agen-agen perubahan yang siap bertarung di tengah masyarakat.
Sedangkan kemungkinan kedua akan
mengakibatkan kampus harus bersedia memberikan sebagian ruang dirinya untuk
diintervensi oleh berbagai kekuatan politik yang ada. Besar kecilnya pengaruh
politik itu akan sangat tergantung dengan kekuatan kampus dalam menanamkan
paradigma dan etos kepada seluruh civitas akademika agar tidak mudah
terprovokasi oleh tipu-daya politik.
Realitas kampus seperti di atas itulah,
menurut saya mesti diperhatikan benar oleh PMII, sebab tanpa kampus, PMII juga
akan kehilangan eksistensi dan perannya. Oleh karena itu, menjadikan kampus
sebagai kantong perjuangan adalah sebuah keharusan yang tak terbantahkan.
Seluruh aktifis PMII mesti mengingat benar bahwa masa depan sebagian besar
rakyat Indonesia belum menjadi bagian yang pasti, tetapi tanpa melalui jalan
menjadi mahasiswa jauh lebih parah. Hal ini melukiskan betapa sangat
strategisnya posisi menjadi mahasiswa.
Paling tida ada tiga alasan, mengapa PMII
harus menjadikan kampus sebaga premise gerakannya, pertama, kampus senantiasa
berupaya merealisasikan peranannya sebagai pembaharu dan pelopor (perangsang)
bagi perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Siapapun tidak akan menyangkal,
jika gagasan-gagasan perubahan di Indonesia (hampir) selalu dimotori atau lahir
dari dalam kampus, baik mulai zaman pergerakan nasional, hingga reformasi
kemarin. Inilah yang menyebabkan keterlibatan kampus dalam kehidupan politik,
karena berbagai tawaran/usaha-usaha pembaharuan tersebut selalu terkait dengan
struktur kekuasaan.
Kedua, realitas bahwa kampus merupakan assets
politik, di kampus tersedia banyak sekali tersedia STOCK potensi kepemimpinan
dan keahlian. Ratusan tokoh dan pemimpin bangsa Indonesia lahir dari kawah
candradimuka kampus. Bahkan, beberapa pentolan angkatan '66 dan '98 mengatakan
hal yang sama, bahwa perubahan besar bangsa ini selalu dimulai dari kampus.
Lebih lanjut mereka meyakini, bahwa "kematian" kehidupan kampus
adalah awal kehancuran bangsa. Agak berlebihan memang, namun pernyataan itu
lahir dari salah satu sebuah paradigma pedagogik yang cukup mencengangkan,
bahwa jika sebuah masyarakat menginginkan kemajuan, kesejahteraan, keadilan
bahkan kejayaan, maka dirikanlah kampus.
Ketiga, watak kemandirian kampus yang tumbuh
dari budaya ilmiah dan cara berfikir kritis, memberi energi besar warga kampus
untuk menilai realitas di sekitanya. Sementara itu pemerintah (state) sebagai
centrum aktifitas kehidupan masyarakat, juga tak lepas dari perhatian kampus.
Kondisi inilah yang kemudian menjadikan kampus seringkali mesti berhadapan
dengan kebijakan pemerintah, karenanya birokrasi (khususnya di negara
berkembang) cenderung melakukan intervensi ke dalam kampus. Intervensi itu akan
semakin membesar dan kadangkala memasung kehidupan kampus, jika kemudian kampus
melahirkan gerakan kritis yang berusaha memperbaiki kehidupan masyarakat,
akibat keteledoran kebijakan pemerintah. Bahkan, mulai dari Orde Lama, Orde
Baru hingga sekarang ini, kampus belum pernah bebas dari intervensi politik,
baik dari kelas penguasa ataupun dari kelompok kepentingan lainnya.
Posisi dan peran strategis kampus inilah yang
oleh PMII mesti tidak boleh sia-siakan, bukan sekedar "papan nama"
PMII tercantum di depan nama sebuah kampus, "PMII Komisariat
Universitas/Sekolah Tinggi/Institut … swasta ataupun negeri". Lebih dari
itu, para kadernya, idealismenya, program perjuangannya harus bisa menjadi
"nafas kehidupan" kampus di manapun ia berada. Tak mudah mewujudkan
hal itu, perlu usaha keras, yang sistemik dan terorganisir serta kerjasama
"sehati" mulai dari para alumninya, PB, Cabang hingga Rayon PMII.
Tulisan berikut juga tidak dimaksudkan menawarkan solusi ideal untuk
permasalahan di atas, namun mungkin cukup penting untuk diungkapkan di sini
sebagai salah satu bentuk kepedulian penulis yang selama ini merasa di besarkan
oleh PMII
Strategi operasional pengembangan PMII di
kampus memang selama ini cukup beragam, tergantung nearby condition dan
neighborhood culture dimana perguruan tinggi tersebut berada. Di Jawa Timur,
Jawa Tengah, mungkin juga Jogya serta di kampus yang sebagian besar
masyarakatnya adalah NU, tidak punya kesulitan cukup berarti dalam merekrut
anggota baru, biasanya mereka tinggal menawarkan bahwa PMII itu merupakan
satu-satunya organisasi kemahasiswaan yang withering dekat (historis maupun
kultural) dengan NU. Bahkan, di beberapa perguruan tinggi yang milik (orang)
NU, PMII justru menjadi satu-satunya penguasa kampus, ekstra maupun intra
instituter. Namun, hal ini tidak berlaku di daerah-daerah yang bukan premise
NU.
Tradisi yang berkembang selama ini di tubuh
PMII dalam upaya memperoleh simpati mahasiswa dan mewarnai kehidupan kampus,
tidak beda jauh dari apa yang di-design kan Bang Muhyiddin di atas, yakni (1)
keharusan kader PMII ber-indeks prestasi tinggi, (2) setiap kader harus
berperangai santun dan berbudi pekerti luhur, dan (3) setiap kader harus
berprestasi dan menduduki pos-pos strategis di lembaga kemahasiswaan. Disamping
itu, PMII juga mesti meningkatkan intensitas dalam melakukan exchange discourse
kualitatif dengan lembaga kemahasiswaan intra-instituer, serta secara rutin
menyajikan kegiatan-kegitan kreatif yang mampu mengundang simpati mahasiswa.
Strategi operasional ini bagus, namun belum cukup, sebab dinamika perubahan
masyarakat semakin mengalami percepatan seiring dengan ledakan kemajuan
teknologi dan informasi dunia.
Oleh
karena itu, disamping terus konsisten menerapkan strategi pengembangan di atas,
PMII harus mulai memperhatikan dan menimbang beberapa hal berikut ini. Pertama,
yang mesti dilakukan PMII adalah men-dekonstruksi kembali ontologi (hakikat)
perguruan tinggi di Indonesia, posisi dan perannya dalam bangunan besar
Indonesia Raya, eksistensi dan urgensinya terhadap kapitalisme worldwide, serta
relasinya dengan kekuasaan dan demokrasi. Salah satu hal yang cukup
menggelisahkan banyak mahasiswa adalah tumbuhnya kesadaran baru bahwa kampus
tidak lebih hanyalah menjadi alat (media) bagi negara dan kekuatan worldwide
untuk menyediakan tenaga terdidik (ahli) bagi 'seribu' proyek buatan mereka.
Namun, hampir mayoritas masyarakat kampus juga mengerti, bahwa kampus juga
merupakan kantong utama "pencipta tokoh" yang sanggup merubah bangsa
ini menjemput keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan senafas dengan cita-cita
perjuangan nasional yang termaktub dalam preambule UUD negara kita.
Oleh karena itu, jika PMII mampu melakukan
gerakan massal untuk menggelorakan "ontologi kampus" seperti
pemikiran yang terakhir, dengan kembali membuka free open arena dimana seluruh
masyarakat kampus khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya memposisikan
kampus sebagai pusat pembebasan, perubahan, transformasi dan demokratisasi dan
bukan sebagai "budak" negara ataupun "kekuasaan modular".
Langkah sederhana untuk memulainya adalah membangun kritisisme kampus dengan mengintegrasikan
kepentingan serta kebutuhan kampus dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Strategi-taktis operasionalnya adalah dengan menginstruksikan pengurus
komisariat di sebuah kampus dimana PMII didirikan, untuk membuka discourse
intensif yang kualitatif dengan segenap civitas akademika. Baik itu untuk
membedah muatan kurikulumnya, model pengajaran, peningkatan expertise
mahasiswa, hingga ground breaking strategy kampus itu ke depan.Sembari PMII
mendekatkan masyarakat sekitar kampus dengan kampus, sehingga ini akan melunturkan
bias mitos "menara gading".
Contoh lainnya adalah, ada sebagian dari
masyarakat yang mengais keuntungan ekonomi dari kampus (baik itu berjualan
makanan dan minuman, usaha fotocopy dan sebagainya), PMII memposisikan dirinya
sebagai arbiter antara keduanya dalam membuat rancangan ekonomi subsistens,
yang dalam jangka panjang akan menyiapkan kemampuan bangsa Indonesia memasuki
perekonomian worldwide. Hambatan lain dari perguruan tinggi adalah rendahnya
semangat research (penelitian) apapun jenisnya, jika PMII menyediakan assets
peneliti muda yang bekerja sama dengan pihak kampus dalam melakukan
penelitian-penelitian kecil, maka hal ini akan semakin merekatkan hubungan
(picture building) PMII dengan kampus.
Kedua, PMII mesti merebut "ruang
publik" di kampus dengan melakukan pembongkaran beban historis, kejumudan
tradisi, dan konservatisme perguruan tinggi. Kemandirian kampus dalam time
otonomi daerah dan perdagangan worldwide merupakan prasyarat utama tegaknya
integritas kampus dalam upaya pemanusiaan manusia (humanisasi). Jika, PMII di
tingkatan komisariat mampu mengkonsolidasikan segenap potensi yang dimiliki,
termasuk para alumninya, untuk mulai membuka selubung konservatisme, beban
sejarah dan tradisi yang menghinggapi kampus, maka hal ini menjadi pintu masuk
PMII untuk memperoleh simpati dari mahasiswa. Untuk ini, PMII bisa berangkat
dari hal-hal kecil yang mampu mengurai satu-persatu problematik kampus, tanpa
bermaksud mengintervensi kedaulatan dan kebijakan kampus. Hal kecil ini bisa
berupa partisipasi aktif kader kampus di seluruh kegiatan kampus, disiplin
dalam kuliah, memanfaatkan (memenuhi) perpustakaan, menjaga kebersihan
(keasrian) kampus hingga kampus merasa bahwa PMII adalah bagian tidak
terpisahkan dari kampus. Karena itu, pemahaman (apresiasi) yang tinggi atas
nearby historis maupun neighborhood culture kampus akan memudahkan PMII
memerankan hal-hal kecil yang sederhana, bukan dengan hal-hal besar yang
terlalu makro dan tidak ada hubungannya (dampak kongkrit) sama sekali dengan
kampus.
Ketiga, PMII menyiapkan "kelompok
strategis" sebagai pelopor dan pengobar semangat perubahan di kampus,
sekaligus melakukan pembenahan aspek kognitif, mental dan perilaku kader serta
graduated class demi memperluas sayap gerakan di seluruh perguruan tinggi. Apa
yang telah terurai di atas, tidak akan pernah bisa dilakukan, jika PMII tidak
menciptakan terlebih dahulu sebuah "kelompok strategis" yang terdiri
dari kader yang memiliki intelektualitas tinggi dengan jumlah yang disesuaikan
dengan rasio mahasiswa di kampus. Kader-kader yang terpilih itu di-'diklat'
secara khusus, dengan waktu dan metode khusus (agak eksklusif) oleh komisariat
sehingga memiliki kualifikasi sebagai kader yang ideologis, bermental baja,
selalu haus akan ilmu dan pengetahuan, progresif serta memiliki integritas
moral tinggi. Setelah itu mereka diarahkan untuk mulai terjun aktif di berbagai
aktifitas kampus beserta seluruh pergulatan apapun yang terjadi di dalamnya
dengan membawa segenap idealisme, paradigma dan program-program PMII menjadi
bagian yang karib dengan dinamika kampus. Mereka inilah yang akan menjadi
engine PMII untuk melakukan kerja-kerja di atas, sehingga mereka akan menarik
banyak mahasiswa untuk turut mengusung paradigma PMII tersebut dengan tanpa
beban lagi.
Logika penciptaan 'kelompok strategis' di
atas bertumpu pada strategi kaderisasi dari bawah ke atas (base up). Dengan
terciptanya 'kelompok strategis' di setiap komisariat dengan jumlah satu
kelompoknya 10 orang, maka kalau kemudian di sebuah cabang kita ambil rata-rata
memiliki 4 komisariat, maka disetiap 1 cabang akan terdapat 40 orang kader
ideologis dan pejuang tangguh PMII. Kalau jumlah cabang PMII jumlahnya ada
150-an, maka PMII sudah mempunyai 6000 orang kader ideologis. Bayangkan, kalau
PB ke depan melakukan model pengkaderan seperti ini, maka di tubuh PMII akan
tersedia engine penggerak organisasi yang mampu menyuarakan dan pembumian
segenap nilai-nilai, ideologi dan paradigma PMII tanpa harus berpikir reward
yang mesti diterimanya, sebab konsepsi reward bagi kader ideologis itu adalah
kebanggaan yang tersematkan oleh publik sebagai "the overseer of
progress" para pengarah (penentu) perubahan, bukan lagi sekedar
"problem solver", agen perubahan yang setelah usai tugasnya, kemudian
dilupakan orang (ditinggal) dalam compositions perubahan yang lebih besar
selanjutnya.
Model pengkaderan semacam ini bukannya tanpa
resiko, sebab pola pengaturan yang salah akan mengakibatkan kelompok strategis
ini akan menjadi kelompok eksklusif, merasa withering intelek, ideologis, dan 'berjasa'
kepada organisasi. eksklusifsme harus dihilangkan dari tubuh organisasi dan
mind setiap kader PMII, sebab sikap inilah yang justru akan mengkerdilkan PMII.
Oleh karena itu, PMII harus benar-benar melakukan penyaringan yang ketat dan
tidak asal pilih kader, kemudian mereka bersedia diba'iat untuk selalu patuh
pada nilai-nilai dan ideologi PMII, bukan pada individual pimpinannya. Kalaupun
mereka harus patuh pada pimpinannya, itu sudah barang tentu keluar dari
kesadaran mereka akan amanat konstitusi, bukan karena benefactor clien.
Selanjutnya, keberadaan kelompok strategis
ini bukan untuk menomorduakan kader-kader yang lain, justru keberadaan mereka
diperuntukkan men-upgrade kritisisme, progresifitas dan pendigdayaan kader,
bukan malah sebaliknya untuk menjadikan organisasi dan kader-kader PMII lainnya
sebagai tangga bagi mereka memperoleh keuntungan politis. Kalau seluruh
proposisi di atas tak tercapai, maka keberadaan 'kelompok strategis' ini patut
dipertimbangkan.
Komentar
Posting Komentar